Sejarah Kurban
Dalam Kisah Nabi Ibrahim As: Tunduk, Ikhlas, Dan Cinta Ilahi
Ibadah kurban adalah salah satu ritual paling sakral dalam Islam,
yang diabadikan setiap tahun oleh umat Muslim di seluruh dunia pada Hari Raya
Idul Adha. Akar spiritual dari kurban tidak lain bersumber dari kisah agung
Nabi Ibrahim AS, seorang nabi yang disebut sebagai “Abul Anbiya” atau Bapak
para Nabi. Peristiwa monumental ketika ia bersedia mengorbankan putranya
sebagai bentuk ketaatan total kepada Allah telah menjadi simbol ketulusan iman,
dan menjadi warisan spiritual yang hidup hingga kini.
Namun, kisah ini tidak hanya hidup dalam Islam. Ia juga ditemukan
dalam tradisi Yahudi dan Kristen, meski dengan versi yang sedikit berbeda.
Untuk memahami makna sejati dari kurban, kita harus menelusuri sejarah kurban
dalam konteks kenabian Ibrahim, mengkaji maknanya, dan menelaah warisannya
hingga ke zaman modern.
1. Nabi Ibrahim: Tokoh Monoteistik Universal
Nabi Ibrahim adalah salah satu tokoh utama dalam tiga agama samawi:
Islam, Kristen, dan Yahudi. Dalam Islam, ia dikenal sebagai Khalilullah
(kekasih Allah) dan disebutkan lebih dari 60 kali dalam Al-Qur’an. Dalam
tradisi Yahudi, ia adalah patriark penting, sementara dalam Kekristenan ia
dikenal sebagai simbol iman dan pembawa perjanjian dengan Tuhan.
Kisah kurban bermula dari perintah Allah kepada Ibrahim dalam
sebuah mimpi. Dalam Islam, ini dicatat dalam Surah Ash-Shaffat:
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat
dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia
menjawab: ‘Wahai ayahku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya
Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.”
(QS Ash-Shaffat: 102)
Anak yang disebut dalam Al-Qur'an adalah Ismail, sedangkan dalam
Kitab Kejadian di dalam Perjanjian Lama disebut sebagai Ishak. Perbedaan ini
tidak mengubah esensi pesan spiritualnya: kesediaan seorang ayah untuk tunduk
kepada perintah Tuhan, dan kerelaan seorang anak untuk berkorban demi
menjalankan kehendak-Nya.
2. Ujian Agung: Kesetiaan tanpa Batas
Kisah kurban bukan sekadar cerita tentang penyembelihan. Ia adalah
puncak dari serangkaian ujian berat yang dijalani oleh Ibrahim. Sebelumnya,
Ibrahim diuji dengan:
- Melawan keyakinan masyarakat dan ayahnya
yang menyembah berhala,
- Dibakar hidup-hidup oleh Raja Namrud,
- Menjalani kehidupan nomaden yang penuh
pengorbanan,
- Menanti keturunan hingga usia lanjut
bersama istrinya, Siti Hajar.
Ketika Allah memberinya seorang putra (Ismail) di usia tua, justru
perintah untuk menyembelih putra tercintanya menjadi ujian akhir. Ini
menegaskan bahwa bahkan nikmat terbesar pun bisa menjadi ujian keimanan. Namun
Ibrahim menunjukkan ketaatan mutlak, sebagaimana disebutkan:
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
(QS Ash-Shaffat: 107)
Allah, sebagai bentuk penghargaan atas pengabdian dan kesetiaan
Ibrahim, menggantikan Ismail dengan seekor domba dari surga. Peristiwa ini
menjadi titik tolak dari ibadah kurban dalam Islam.
3. Makna Spiritual Kurban
Kurban bukan sekadar menyembelih hewan. Ia adalah simbol dari:
a. Pengorbanan Diri
Ibrahim dan Ismail mencontohkan bagaimana manusia harus siap
mengorbankan sesuatu yang dicintainya demi perintah Allah.
b. Kepatuhan Mutlak
Tanpa keraguan, Ibrahim mengikuti perintah Allah, bahkan saat itu
tampak sangat berat secara emosional dan logika manusia.
c. Pembersihan Hati
Allah ingin menunjukkan bahwa iman sejati menuntut hati yang bersih
dari ketergantungan pada selain-Nya, termasuk pada anak dan keluarga.
d. Keteladanan
Nabi Ibrahim dan Ismail menjadi model keteladanan spiritual lintas
generasi dan lintas agama.
4. Perspektif Perbandingan: Ismail atau Ishak?
Dalam Islam, diyakini bahwa anak yang akan disembelih adalah
Ismail, anak Ibrahim dari istrinya Hajar, dan ini terjadi di Makkah. Sementara
dalam tradisi Yahudi dan Kristen, anak yang akan dikorbankan adalah Ishak, anak
dari Sarah, dan terjadi di Gunung Moriah.
Meski demikian, para sarjana Muslim menyatakan bahwa versi Qur’ani
lebih logis, sebab:
- Ismail adalah anak pertama dan
satu-satunya ketika perintah datang.
- Peristiwa itu terjadi sebelum Ishak lahir,
sebagaimana urutan dalam Al-Qur’an.
- Tradisi kurban Idul Adha yang dilakukan di
Makkah menguatkan posisi Ismail dalam kisah tersebut.
Namun, Islam tidak menjadikan perdebatan identitas anak sebagai
fokus utama. Inti kisah ini adalah nilai pengorbanan dan ketaatan.
5. Kurban sebagai Syariat Islam
Kisah Ibrahim kemudian diabadikan menjadi salah satu syariat
penting dalam Islam, yakni udhiyah atau qurban. Rasulullah SAW
bersabda:
“Tidak ada amalan anak Adam yang lebih dicintai oleh Allah pada
hari raya kurban selain menyembelih hewan.”
(HR. Tirmidzi)
Umat Islam yang mampu disunnahkan untuk menyembelih hewan pada
10–13 Dzulhijjah setiap tahun. Dagingnya dibagikan kepada keluarga, tetangga,
dan fakir miskin. Ini menjadi bentuk solidaritas sosial, penghapus jarak antara
kaya dan miskin, dan perwujudan nilai-nilai universal dari kisah Ibrahim.
6. Warisan Ibrahim dalam Dunia Modern
Kisah kurban Ibrahim tetap hidup dan relevan hingga hari ini. Di
zaman modern, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap menjadi pelajaran
abadi:
- Spiritualitas di tengah materialisme: Di
tengah dunia yang mengejar kesenangan dan harta, kurban mengajarkan untuk
melepaskan keterikatan terhadap dunia.
- Pengorbanan untuk kemanusiaan: Kurban
juga dapat dimaknai sebagai bentuk pengabdian dan kontribusi nyata untuk
kemaslahatan sosial.
- Keikhlasan dalam tindakan: Seperti
Ibrahim, manusia dituntut untuk ikhlas dalam menjalankan perintah dan
tanggung jawab hidupnya.
Sejarah kurban Nabi Ibrahim bukan sekadar kisah simbolik, melainkan
sebuah pelajaran spiritual yang sangat mendalam. Ia adalah kisah tentang cinta
yang paling tinggi cinta kepada Tuhan yang melampaui segala cinta duniawi. Dari
peristiwa ini lahirlah ibadah kurban, yang tidak hanya menghidupkan nilai
spiritual, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial.
Dengan meneladani semangat pengorbanan Ibrahim dan keikhlasan
Ismail, umat Islam diingatkan bahwa setiap Idul Adha bukan hanya soal ritual
menyembelih hewan, tetapi lebih dalam dari itu: menyembelih ego, keserakahan,
dan kelekatan terhadap dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar