Khutbah Jum'at : "TAQWA SEBAGAI KUNCI IBADAH QURBAN".
ibadah sunnah yang sangat ditekankan. Artinya, bagi mereka yang memiliki kemampuan, sangat dianjurkan untuk melaksanakannya. Jika seseorang melaksanakannya, ia akan mendapatkan pahala besar dari Allah, namun jika meninggalkannya tanpa alasan yang dibenarkan, maka ia telah melewatkan satu amalan mulia dan mengalami kerugian spiritual.
Hakikat dari ibadah qurban bukan hanya menyembelih hewan, melainkan
sebuah bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT (taqarrub ilallah). Dalam
penyembelihan itu terkandung nilai-nilai pengorbanan, keikhlasan, dan bentuk
ketaatan total kepada perintah Allah SWT. Qurban bukan sekadar ritual, tetapi
simbol dari kepatuhan hamba kepada Tuhannya.
Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ
فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
"Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan
syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu adalah dari ketakwaan hati." (QS.
Al-Hajj: 32)
Ayat ini menegaskan bahwa mengagungkan syiar Allah—termasuk ibadah
qurban—merupakan cerminan dari ketakwaan hati. Mengagungkan di sini
bukan hanya secara lahiriah seperti memuliakan pelaksanaan ibadah, tetapi juga
batiniah, yakni menjalankan dengan penuh kekhusyukan, penghayatan, dan niat
yang lurus karena Allah semata.
Untuk memahami hubungan antara qurban dan taqwa, penting kiranya
menelaah makna taqwa dari perspektif ulama bahasa dan tafsir. Allāmah ar-Rāghib
al-Aṣfahānī dalam karyanya Al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān menjelaskan
bahwa:
"Taqwa adalah menjadikan diri dalam perlindungan dari sesuatu
yang ditakuti, yaitu murka dan azab Allah."
Secara istilah syar’i, taqwa adalah menjaga diri dari perbuatan
dosa dengan meninggalkan segala larangan Allah dan menjalankan segala
perintah-Nya. Maka, inti dari taqwa adalah rasa takut kepada Allah yang
melahirkan ketaatan dan kehati-hatian dalam hidup.
Dalam konteks ibadah qurban, taqwa menjadi syarat utama diterimanya
amalan tersebut. Ibadah qurban tidak akan bernilai di sisi Allah jika tidak
dilandasi dengan ketakwaan dan rasa takut yang tulus dari dalam hati seorang
hamba. Sebaliknya, meski seseorang menyembelih hewan paling mahal sekalipun,
jika niatnya tercampur riya’ atau sekadar menjalankan tradisi tahunan, maka
amal itu bisa menjadi sia-sia di hadapan Allah SWT.
Ibadah qurban memiliki dimensi spiritual sekaligus sosial. Dari
sisi spiritual, ia adalah bentuk pengabdian kepada Allah. Dari sisi sosial,
qurban menjadi sarana berbagi dan mempererat tali persaudaraan di tengah
masyarakat. Daging hewan qurban dibagikan kepada tetangga, fakir miskin, dan
orang-orang yang membutuhkan.
Namun, di sinilah ujian keikhlasan dan ketakwaan itu muncul. Karena
ibadah qurban adalah ibadah yang tampak secara fisik, maka besar kemungkinan
seseorang tergoda untuk memamerkan jumlah hewan yang dikurbankan atau harga
yang mahal sebagai bentuk kebanggaan. Dalam konteks inilah, keikhlasan dan
ketakwaan menjadi sangat sulit untuk dijaga.
Sebagian orang mungkin terdorong untuk berqurban bukan semata-mata
karena Allah, tetapi karena ingin dilihat orang, dianggap dermawan, atau
menjaga gengsi sosial. Maka, ibadah qurban berpotensi menjadi amalan yang hanya
memiliki kulit, namun tidak memiliki ruh. Oleh karena itu, sangat penting bagi
setiap muslim yang berqurban untuk senantiasa memeriksa niat dan
membersihkannya dari segala bentuk kepentingan duniawi.
Allah SWT dengan tegas menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa yang sampai
kepada-Nya dari ibadah qurban bukanlah daging atau darah hewan, melainkan
ketakwaan orang yang berqurban.
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا
دِمَاؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ
"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya."
(QS. Al-Hajj: 37)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa maksud dari ayat ini
adalah bahwa Allah tidak menerima qurban secara fisik, melainkan niat, ikhlas,
dan ketundukan hamba dalam menjalankannya. Dalam agama-agama jahiliah,
penyembahan berhala dilakukan dengan menyembelih dan mempersembahkan darah
kepada berhala. Islam membebaskan umatnya dari keyakinan semacam itu. Islam
mengajarkan bahwa semua bentuk ibadah harus dibangun di atas keikhlasan dan
ketakwaan, bukan sekadar simbol atau tradisi.
Dalam melaksanakan qurban, hendaknya seorang muslim memberikan
hewan terbaik sesuai kemampuannya. Tidak harus mahal, besar, atau mewah, tetapi
dipilih dengan pertimbangan kualitas dan keikhlasan. Karena esensi qurban
adalah ketaatan dan keikhlasan, bukan kemewahan atau kuantitas.
Motivasi dalam berqurban harus benar: bukan karena gengsi, bukan
karena ingin dipuji, dan bukan karena merasa terpaksa oleh tradisi. Qurban
adalah ibadah hati, dan hanya hati yang ikhlas yang akan mengantarkan seorang
hamba kepada keridhaan Allah.
Pesan ini tidak hanya berlaku dalam ibadah qurban, tetapi dalam
seluruh amal ibadah. Jangan sampai amal ibadah kita hanya terlihat dari luar
saja—seperti tubuh tanpa ruh, atau jasad tanpa makna. Amal yang diterima adalah
amal yang hidup dengan ruh ketakwaan dan keikhlasan.
Ibadah qurban mengajarkan kepada kita bahwa hakikat ibadah adalah pengabdian
total kepada Allah dengan dasar taqwa. Qurban bukan hanya
menyembelih hewan, melainkan menyembelih ego, kesombongan, dan niat buruk dalam
hati kita. Dalam setiap tetes darah yang mengalir, ada pelajaran tentang
ketundukan, dan dalam setiap daging yang dibagikan, ada pelajaran tentang kasih
sayang dan persaudaraan.
Maka, jadikanlah ibadah qurban sebagai momen untuk meningkatkan
ketakwaan. Jangan jadikan qurban sekadar rutinitas tahunan atau ajang pamer.
Tapi niatkan sebagai bentuk ketaatan, rasa syukur, dan pengorbanan demi
menggapai ridha Allah SWT. Karena hanya dengan taqwa, setiap amal akan
bernilai di sisi-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar